Untuk menjadi seorang pebulutangkis besar, perjalanan Taufik dimulai sejak usianya 9 tahun. Bersama sang Ayah Aris Haris, Taufik kecil sudah digembleng untuk menekuni bulutangkis. Jarak 40km Pengalengan-Bandung pun jadi santapan juara enam kali Indonesia Open itu demi berlatih bulutangkis.
Taufik yang lahir pada 10 Agustus 1981 ini pun harus memilih antara pendidikan atau karier bulutangkisnya saat ia lulus SMA. Atas dasar kecintaannya pada olahraga tepok bulu ini, ia memutuskan hijrah ke Jakarta untuk bisa mengembangkan kariernya.
Pilihannya tepat. Ia mampu mempertanggungjawabkannya dengan baik. Sampai di akhir kariernya, ia telah mengantongi dua kali gelar SEA Games (1999&2007), Asian Games (2002&2006), Thomas Cup (2000&2002), juara Olimpiade (2004), juara dunia (2005), serta enam kali juara Indonesia Open (1999, 2000, 2002, 2003, 2004, 2006).
Apa sih rahasianya buat jadi juara seperti Taufik? "Dengan karakter yang kuat, tanggung jawab, komitmen, serta tujuan," sebutnya.
Komitmen itu juga ia buktikan saat ia memutuskan mundur dari Pelatnas PBSI di Cipayung. Pengakuan serta alasan soal kemundurannya itu baru ia ucapkan dengan lantang di acara perpisahan Taufik, Rabu (19/6) malam.
"Saya selalu bilang alasan saya adalah untuk regenerasi pemain junior. Tapi itu alasan nomor dua. Alasan utamanya adalah karena komitmen saya terhadap pelatih. Saat itu pelatih saya (Mulyo Handoyo) tidak dipanggil lagi ke PBSI. Ini komitmen saya, saya ikut mundur," aku anak pasangan Aris Haris dan Enok Dartilah itu.
Kini, atlet kebanggan merah putih itu gantung raket. Dengan komitmen, tanggung jawab dan dedikasinya buat bulutangkis Indonesia, ini jadi perpisahan yang manis. Lewat Taufik Hidayat Arena (THA) miliknya, Taufik, Taufik muda bakal ia cetak. Terima kasih, Taufik!