Hendrawan harus puas dengan kalungan medali perak setelah kalah 4-15 dan 13-15 dari tunggal putra Tiongkok, Ji Xinpeng. Meski sudah menyumbangkan medali perak untuk Ibu Pertiwi di ajang Olimpiade Sydney 2000, namun Hendrawan sempat merasa gagal karena meleset dari target emas yang dipatok tim bulutangkis Indonesia pada saat itu. Menjadi runner up, kata Hendrawan itu artinya gagal.
“Di Indonesia, medali perak atau perunggu itu artinya gagal, karena tradisi kita emas Olimpiade. Saya sendiri memang merasa gagal. Waktu cerita dengan teman di cabor lain, dia bilang saya tidak boleh berpikir begitu, karena kita adalah olympian, masuk Olimpiade saja nggak gampang, apalagi dapat medali,” ungkap Hendrawan.
“Tapi di bulutangkis kan nggak begitu, kita ditarget emas. Contohnya Tontowi (Ahmad)/Liliyana (Natsir), kalau waktu itu nggak dapat emas, pasti dibilang gagal juga. Karena target dan tradisinya sudah emas,” lanjutnya menambahkan.
Persaingan ketat jelang Olimpiade sudah menjadi hal yang biasa untuk para atlet. Bahkan, pada saat itu, mantan tunggal putra kelahiran Malang, 27 Juni 1972 ini tidak hanya bersaing dengan pebulutangkis dari negara lain, tapi juga dengan kompatriotnya. Pada 20 tahun silam itu, ada lima tunggal putra Indonesia yang sama-sama bersaing menembus peringkat empat besar demi mendapatkan tiga tiket ke Olimpiade. Selain Hendrawan ada Taufik Hidayat, Marlev Mainaky, Hariyanto Arbi dan Budi Santoso.
Singkat cerita dengan melalui berbagai perjuangan, Hendrawan, Marlev dan Taufik akhirnya berhasil lolos ke Olimpiade Sydney 2020. Perjalanan Hendrawan untuk lolos ke Olimpiade Sydney 2020 tentunya tidaklah mudah. Boleh dibilang saat itu perjuangannya cukup berat. Sebab, beberapa bulan sebelum ke Sydney, Hendrawan sempat mengalami tifus yang memaksa dirinya harus absen di dua turnamen sebelum perhelatan Olimpiade.
“Waktu itu saya saingan sama Budi dan Hari, masih ada lima turnamen, tapi saya kena tifus dan kehilangan kesempatan di dua turnamen. Jadi sisa turnamennya hanya All England, Swiss Open dan Japan Open 2000. Saya bertekad, minimal harus masuk semifinal kalau mau lolos, untungnya hasilnya bisa lebih baik,” katanya.
“Lagi ngejar poin ke Olimpiade lalu sakit, itu rasanya down sekali. Lalu saya berkomitmen, saya harus bisa pulih, atau kesalip teman-teman saya sendiri. Untuk jadi pemain top dunia, atlet itu harus melewati batas tertentu, itu tantangannya, bisa atau tidak melewatinya? Atau mau menyerah dan pasrah dengan keadaan?” lanjutnya.
Setelah dinyatakan pulih dari tifus, kondisi fisik Hendrawan pun otomatis menurun. Untuk mengejar ketertinggalannya, pelatih fisiknya, yakni Paulus, membuatkan program latihan bersama atlet lari DKI Jakarta saat itu. “Saya latihan lari di bukit Senayan yang naik turun. Waktu itu pelarinya kaget, kok saya bisa mengikuti pace-nya dia? Padahal kata dia itu program persiapan pertandingan atlet lari. Itulah yang namanya pengorbanan. Saya sadar kalau soal kuat, mungkin saya tidak sekuat pemain lain, makanya saya latih semua kekurangan saya, dan usaha lebih,” jelasnya.
Tampil di ajang Olimpiade dirasakan Hendrawan sebagai pengalaman yang luar biasa. Ia sadar bahwa Olimpiade Sydney 2000 akan menjadi Olimpiade pertama dan terakhir untuknya. Hendrawan masuk pelatnas di usia 21 tahun, usia yang bisa dibilang terlambat, karena rata-rata atlet masuk pelatnas di usia yang lebih muda.
“Saya sadar kalau waktu saya tidak lama, saya harus bisa atur peak performance saya di kejuaraan penting, termasuk Olimpiade. Kenapa pressure di Olimpiade besar sekali? Karena kalau nggak berhasil ya nunggu empat tahun lagi. Musuh terbesar di Olimpiade itu adalah situasi dan kemauan kita. Kalau terlalu mau juga nggak boleh, harus semangat, tapi tidak boleh menggebu-gebu, mengatur ini yang nggak gampang,” bebernya.
Kedisiplinan Hendrawan saat menjadi atlet ternyata masih terbawa hingga saat ini. Dikatakan Hendrawan, demi menjaga kondisi fisiknya, ia mengatur pola makan dan jam istirahatnya. Ia selalu tidur pukul 21.00 setiap malam, bahkan hingga ini, saat ia menjadi pelatih, kebiasaan tersebut masih sama. “Dulu saya harus tidur cepat, karena paginya kan ada tambahan latihan. Saya bangun pagi pukul 04.30 dan latihan tambahan jam 5 pagi. Lalu siang ke sore latihan lagi dan kadang malam latihan lagi. Satu hari bisa sampai tiga sesi,” ujarnya.
Lebih lanjut peraih gelar Juara Dunia 2001 ini mengatakan bila untuk menjadi top player, harus ada batasan yang dilewati pemain. Saat ini Hendrawan menjadi Kepala Pelatih Tunggal Putra di timnas Malaysia. Puluhan tahun memiliki pengalaman melatih, Hendrawan berpesan kepada para pemain untuk lebih mandiri dan berkorban lebih demi kesuksesan.
“Semua itu datang dari diri kita sendiri, pelatih bisa mengantar kita ke satu titik, tapi sisanya harus pemain sendiri yang usaha, cari jalan sendiri. Dalam perjalanan menuju sukses, pelatih akan bimbing, kasih masukan, cerita pengalaman, tapi semua tergantung atletnya, dia yang menentukan. Ada pelatih yang menakutkan, tapi ingat, tidak ada pelatih yang bisa menjamin atlet menjadi juara. Saya tidak mau jadi pelatih yang ditakuti, di depan kita saja nurut, di belakang kita ya nggak dengerin,” katanya.
Sebagai pelatih, Hendrawan tak hanya memberi bimbingan soal bulutangkis, tapi juga banyak menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada atlet-atletnya, termasuk saat melatih Lee Chong Wei, mantan pebulutangkis tunggal putra terbaik dunia dari Malaysia. “Karakter kuat itu adalah hal penting, banyak atlet sekarang yang nggak bisa jadi top player, karena dia tidak punya karakter yang kuat,” tutupnya.