Tan menceritakan, timnas Indonesia berhasil menyisihkan Selandia Baru dan Australia pada babak penyisihan untuk melaju ke challenge round di Singapura pada 1958. "Kami bermain mengalahkan Selandia Baru dan Australia, lalu kembali lagi ke Jakarta. Dulu kami pulang ya masing-masing, kalau sekarang kan ada pusat latihannya," tuturnya, dalam jumpa pers daring yang digelar pekan lalu.
"Saya sekolah lagi, yang lain juga nggak tahu pokoknya masing-masing," kenang Tan, menambahkan.
Dalam buku Dari Kudus Menuju Prestasi Dunia tertulis, Ferry Sonnevile dipanggil untuk kembali memperkuat serta melatih regu Indonesia, jelang Piala Thomas 1958 di Singapura. Sebelum berangkat ke Singapura, timnas Indonesia yang dipimpin Ferry meminta dukungan dan restu dari Presiden Soekarno.
"Tim Indonesia terdiri dari Tan Joe Hok, Njoo Kim Bie, Li Po Djian, Tan King Gwan, Tio Tjoe Djen, dan Tan Thiam Beng. Saat itu Indonesia belum diperhitungkan. Apalagi beberapa lawan yang dihadapi adalah tim tangguh. Salah satunya Denmark, yang terdiri dari finalis-finalis kejuaraan All England. Tapi, di luar dugaan, Indonesia mampu mengalahkan Denmark dengan kedudukan 6-3," Tim Historia, menuliskan dalam buku tersebut.
Selain Denmark, Tan dan kawan-kawan juga berhasil mengalahkan Thailand. Indonesia pun keluar sebagai juara setelah mengalahkan juara bertahan Malaya (kini Malaysia) dalam final di Singapura dengan skor 6-3, dan memboyong trofi lambang supremasi bulu tangkis beregu putra paling bergengsi itu, untuk kali pertama ke Tanah Air.
Kemenangan itu sekaligus menghentikan dominasi Malaya yang selalu menjuarai Piala Thomas dalam tiga edisi sebelumnya. "Tidak ada yang menyangka kami bisa menang karena dulu kami juga pergi naik becak, lapangan terbang di Kemayoran kami ingat ke sana naik becak," kata Tan, dikutip dari Antara.
"Setelah pulang, itu lautan manusia penuh. Di situ kami merasakan sangat terharu dengan sambutan itu," tambahnya.
Tan menyatakan, perjalanan Indonesia dalam merebut Piala Thomas penuh liku. Hingga kini pun, pria berusia 85 tahun itu hanya tahu jika dirinya dipanggil, dikumpulkan, dan diminta bertanding pada kejuaraan beregu tersebut. "Dulu tidak terarah," katanya.
"PBSI mengatakan kami belum siap, tapi akhirnya bagaimana bisa jadi ikut Thomas Cup, saya tidak tahu. Tiba-tiba disuruh tanding, dipanggil, dikumpulkan, dan ada lima orang yang sudah dipilih untuk ikut babak penyisihan tahun 1957," demikian Tan.
Pada kesempatan jumpa pers daring tersebut, Tan, satu-satunya tim anggota tim juara Piala Thomas 1958 yang masih hidup, secara simbolis menerima buku Thomas up, Sejarah Tentang Kehebatan Indonesia. Buku ini ditulis tim Bakti Olahraga Djarum Foundation, bekerja sama dengan Redaksi Harian Kompas yang menyediakan foto-foto dokumentasi.
"Buku ini tak ternilai harganya, baik untuk saya maupun teman-teman atlet bulu tangkis yang bertanding di Thomas Cup. Saya berharap anak-anak muda bisa membaca buku ini untuk mengetahui sejarah penting dunia bulu tangkis Indonesia," kata Tan, sebagai dilaporkan media harian tersebut.